Mengganti
Kacamata Melihat Aceh
Doktrin
Aceh sebagai wilayah paling ujung Indonesia yang didogma sejak bangku SD/MI
hingga perguruan tinggi harus diubah. Doktrin ini telah memposisikan Aceh
sebagai wilayah tidak strategis secara nasional, walau sesungguhnya sangat
strategis secara internasional. Pemerintah dan rakyat Aceh harus mengganti
kacamata dalam melihat letak geografis Aceh, dari kacamata nasional ke kacamata
internasional sebagaimana kerap ditunjukkan Gubernur Irwandi dan Wagub Muhammad
Nazar yang sangat gigih berupaya menjalin kerjasama dengan negaranegara
tetangga. Di tengah situasi kebijakan dan kampanye yang kurang menguntungkan
serta adanya ego sektoral dalam pembangunan tetapi sejumlah maskapai
penerbangan internasional seperti Air Asia dan Firefly masih dapat bertahan
melayani dalam melayani penerbangan langsung antara Aceh–Malaysia, walau
tanpabsubsidi pemerintah. Demikian juga halnya dengan Sabang telah beberapa
kali dilalui kapal-kapal pesiar megah. Semua ini menunjukkan bahwa Aceh adalah
daerah yang sangat strategis. Akan tetapi, peluang ini belum dimanfaatkan
secaraoptimal dan dikemas secara menarik. Padahal, nun jauh di langit sana,
setiap hari puluhan pesawat dari berbagai kawasan di dunia melintasi wilayah
udara Aceh.
Demikianjuga
Selat di perairan Malaka, kapalkapal besar harus antri berhari-hari untuk
mengisi bahan bakar maupun bongkar-muat di Singapura, tetapi mereka enggan
singgah di Aceh. Kiranya bandara SIM dan dermaga Sabang sangat layak
dipersiapkan sebagai
pelabuhan internasional alternatif setelah Singapura. Membuka kembali akses Aceh dengan dunia luar sesuai amanah undang-undang No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh sepertinya tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Kebijakan visa on arrival untuk bandara SIM yang sudah setahun diintruksikan Presiden SBY hingga saat ini belum berfungsi dengan berbagai alasan. Demikian juga museum tsunami, situs dan sejumlah monumen yang menjadi daya tarik (magnet) untuk orang berkunjung ke Aceh hingga kini belum bisa dibanggakan. Sepertinya butuh waktu lama 10-20 tahun lagi bagi Aceh untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan, terutama bila melihat gaya birokrasi yang berbelit-belit, berbiaya tinggi dan sikap aparatur yang tidak proaktif dan visioner dalam membuat kebijakan. Mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Yusuf Kalla memahami betul memori sejarah dan budaya Aceh. Tokoh di balik terwujudnya perdamaian RI-GAM ini paham
pelabuhan internasional alternatif setelah Singapura. Membuka kembali akses Aceh dengan dunia luar sesuai amanah undang-undang No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh sepertinya tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Kebijakan visa on arrival untuk bandara SIM yang sudah setahun diintruksikan Presiden SBY hingga saat ini belum berfungsi dengan berbagai alasan. Demikian juga museum tsunami, situs dan sejumlah monumen yang menjadi daya tarik (magnet) untuk orang berkunjung ke Aceh hingga kini belum bisa dibanggakan. Sepertinya butuh waktu lama 10-20 tahun lagi bagi Aceh untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan, terutama bila melihat gaya birokrasi yang berbelit-belit, berbiaya tinggi dan sikap aparatur yang tidak proaktif dan visioner dalam membuat kebijakan. Mantan Wakil Presiden RI, Muhammad Yusuf Kalla memahami betul memori sejarah dan budaya Aceh. Tokoh di balik terwujudnya perdamaian RI-GAM ini paham
betul letak geografis Aceh yang menguntungkan itu. Untuk itu, tatkala masih menjabat
sebagai Wapres, JK dalam lawatannya ke India secara khusus singgah (transit) di Banda Aceh. Ini adalah isyarat nyata dari sang wapres bahwa bandara SIM layak dijadikan sebagai bandara transit penghubung berbagai kawasan di dunia.Untuk bisa maju dan kembalinya ruh rakyat Aceh, maka kita harus terbuka dan membuka diri dengan dunia luar dengan tetap memegang nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup Islami. Pemerintah dan rakyat Aceh harus melihat Aceh secara utuh, tidak parsial dan ego sektoral seperti terjadi selama ini. Aceh tempo dulu maju dan punya pengaruh dalam tataran global, karena rakyat Aceh bersatu dan terbuka (kosmopolit). Bahkan beberapa tokoh yang memajukan Aceh tempo dulu bukan berasal dari etnis Aceh, seperti Syech Abdurrauf As-Singkili, Nuruddin Ar- Raniry hingga Sultan Iskandar Tsani. Mereka ini adalah guru besar yang bukan berasal dari etnis Aceh, namun hidup dan mengharumkan nama Aceh hingga seantero dunia. Dalam upaya mengembalikan kejayaan Aceh dalam tataran global, maka Aceh harus merumuskan visi untuk 20 tahun mendatang.
Pembangunan Aceh ke depan harus visioner dan harus benar-benar dirumuskan dengan baik, karena akan menentukan bagaimana arah Aceh ke depan. Kesemua itu harus menjadi komitmen dan dijadikan suatu kebijakan bersama. Langkah-langkah ke arah itu harus dirintis sejak sekarang, seperti dicontohkan oleh negara jiran Malaysia yang berhasil membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Insya Allah ke depan jika rakyat Aceh berhasil merumuskan visinya secara global dan berkesinambungan, maka cita-cita mewujudkan masyarakat Aceh yang adil, makmur dan bermartabat dapat terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar