Senin, 18 Agustus 2014


Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
 Kutipan
  • Mate aneuk meupat jierat, Mate hukom ho tamita yang artinya: mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana hendak dicari," katanya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada anandanya Meurah Pupok yang berzinah dengan isteri seorang perwira.















Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
ceh…tentu anda sudah sering mendengar nama Aceh tapi tahukah anda asal mula Bangsa Aceh dari mana…?.
Aceh…adalah sebuah bangsa yang unik yang terdiri dari multikultur suku dan bahasa serta budaya, Aceh adalah negeri yang penuh julukan…Aceh negeri serambi mekkah, Aceh negeri tanah rencong, Aceh negeri syariat Islam, Aceh negeri sejuta warung kopi dan sebagainya.
Menurut salah satu sumber dikalaangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang saya kutip dari Cakradonya, bahwa asal usul Bangsa Aceh berasal dari suku Mantee yang hidup di rimba raya Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Monk Kmer dari hindia belakang.Seprti anda lihat persamaan yang ada dalam jiwa-jiwa orang Aceh dengan orang Khmer yaitu semangat dan api revolusi yang menyala-nyala.
Kembali pada sejarah masa lalu disini kita lihat Pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India yang membawa ajaran Hindu dan Budha masuk ke Aceh sekitar 2.500 tahun yang lalu, bangsa India telah membuat perkampungan di Aceh, mereka datang melalui pesisir pantai utara Aceh. Sangat beranekaragamnya sumber-sumber yang mengingat pelabuhan-pelabuhan dagang itu, dimana diperoleh informasi dari Cina, Arab, India, bahkan Eropa, adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu memang dari dahulu kala sudah merupakan persimpangan internasional yang sangat strategis di apit oleh samudera hindia dan selat malaka.
Dalam perjalanan sejarah seperti kita ketahui sekitar tahun 500 Masehi di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang di kenal internasional yang bernama kerajaan Poli, kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli, dimana wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar. Dalam tahun 518 M kerajaan poli ini sudah mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok (sekarang negeri Cina) pada masa dinasti Liang.
Dan pada akhir abad 13 tercatat bahwa kerajaan Samudera pasai yang didirikan oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar Sultan Malikus-Saleh. Keberadaan sultan ini di buktikan setelah dia mangkat. Batu nisan di atas makamnya di Blang Me, Geudong, Aceh Utara, yang masih ada di sana sampai saat ini, menyebut bahwa dia mangkat pada tahun 697 Hijriah, bertepatan 1297 Masehi.Kerajaan Samudera berkembang di masa Sultan Malikus-Saleh memerintah. Sumber cerita dari rombongan asal Italia berlayar melewati pantai Sumatera setelah mengunjungi Tiongkok (Cina). Dalam rombongan itu terdapat pemuda bernama Marco Polo. Setiba di Italia dia menceritakan pengalamannya singgah di negeri Ferlece (Perlak). Disitu dia melihat para pendatang Muslim, yang disebutnya Saraceen (orang Arab).
Sulthan Ali Mughayat Syah Seorang raja Aceh yang lebih lihai dan beruntung dari raja-raja sebelumnya, berhasil memproklamirkan KERAJAAN ACEH DARUSSALAM pada hari Kamis, 21 Dzulqaidah 916 H atau 20 Februari 1511 ( menurut salah satu sumber sang sulthan sudah berkuasa mulai tahun 1496 ) dan Aceh menjadi salah satu dari SUKU ADI DAYA dikawasannya yang merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia pada masa itu dan Aceh mencapai puncak kejayaan yang gilang gemilang di jaman keemasan Sulthan Iskandar Muda. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalm terukir selama 407 tahun dibumi Ilahi yang berakhir dimasa sulthan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903.
Aceh kinii hanyalah sebuah provinsi yang menjadi salah satu selir dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
 Kutipan
  • Mate aneuk meupat jierat, Mate hukom ho tamita yang artinya: mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana hendak dicari," katanya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada anandanya Meurah Pupok yang berzinah dengan isteri seorang perwira.















Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
ceh…tentu anda sudah sering mendengar nama Aceh tapi tahukah anda asal mula Bangsa Aceh dari mana…?.
Aceh…adalah sebuah bangsa yang unik yang terdiri dari multikultur suku dan bahasa serta budaya, Aceh adalah negeri yang penuh julukan…Aceh negeri serambi mekkah, Aceh negeri tanah rencong, Aceh negeri syariat Islam, Aceh negeri sejuta warung kopi dan sebagainya.
Menurut salah satu sumber dikalaangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang saya kutip dari Cakradonya, bahwa asal usul Bangsa Aceh berasal dari suku Mantee yang hidup di rimba raya Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Monk Kmer dari hindia belakang.Seprti anda lihat persamaan yang ada dalam jiwa-jiwa orang Aceh dengan orang Khmer yaitu semangat dan api revolusi yang menyala-nyala.
Kembali pada sejarah masa lalu disini kita lihat Pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India yang membawa ajaran Hindu dan Budha masuk ke Aceh sekitar 2.500 tahun yang lalu, bangsa India telah membuat perkampungan di Aceh, mereka datang melalui pesisir pantai utara Aceh. Sangat beranekaragamnya sumber-sumber yang mengingat pelabuhan-pelabuhan dagang itu, dimana diperoleh informasi dari Cina, Arab, India, bahkan Eropa, adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu memang dari dahulu kala sudah merupakan persimpangan internasional yang sangat strategis di apit oleh samudera hindia dan selat malaka.
Dalam perjalanan sejarah seperti kita ketahui sekitar tahun 500 Masehi di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang di kenal internasional yang bernama kerajaan Poli, kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli, dimana wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar. Dalam tahun 518 M kerajaan poli ini sudah mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok (sekarang negeri Cina) pada masa dinasti Liang.
Dan pada akhir abad 13 tercatat bahwa kerajaan Samudera pasai yang didirikan oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar Sultan Malikus-Saleh. Keberadaan sultan ini di buktikan setelah dia mangkat. Batu nisan di atas makamnya di Blang Me, Geudong, Aceh Utara, yang masih ada di sana sampai saat ini, menyebut bahwa dia mangkat pada tahun 697 Hijriah, bertepatan 1297 Masehi.Kerajaan Samudera berkembang di masa Sultan Malikus-Saleh memerintah. Sumber cerita dari rombongan asal Italia berlayar melewati pantai Sumatera setelah mengunjungi Tiongkok (Cina). Dalam rombongan itu terdapat pemuda bernama Marco Polo. Setiba di Italia dia menceritakan pengalamannya singgah di negeri Ferlece (Perlak). Disitu dia melihat para pendatang Muslim, yang disebutnya Saraceen (orang Arab).
Sulthan Ali Mughayat Syah Seorang raja Aceh yang lebih lihai dan beruntung dari raja-raja sebelumnya, berhasil memproklamirkan KERAJAAN ACEH DARUSSALAM pada hari Kamis, 21 Dzulqaidah 916 H atau 20 Februari 1511 ( menurut salah satu sumber sang sulthan sudah berkuasa mulai tahun 1496 ) dan Aceh menjadi salah satu dari SUKU ADI DAYA dikawasannya yang merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia pada masa itu dan Aceh mencapai puncak kejayaan yang gilang gemilang di jaman keemasan Sulthan Iskandar Muda. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalm terukir selama 407 tahun dibumi Ilahi yang berakhir dimasa sulthan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903.
Aceh kinii hanyalah sebuah provinsi yang menjadi salah satu selir dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.