Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth
I,
mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim
surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam."
serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima
maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat
yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun
dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I.
Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah
kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions
below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra
and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the
sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah
yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga
matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada
masa Raja James
I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai
hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal
dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan
maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik
mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini
di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang
Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu
Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya
untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah
sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya
sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk
kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang
Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan
beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam
tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada
Sultan Aceh
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan
Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah
cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin
tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut
sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa
Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya.
Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang
dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini
Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan
Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga
memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya
(sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar
Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu
tetamu-tetamunya.
Kutipan
- Mate aneuk meupat jierat, Mate hukom ho tamita yang artinya: mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana hendak dicari," katanya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada anandanya Meurah Pupok yang berzinah dengan isteri seorang perwira.
Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan
Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada
suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik
di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain
layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang
mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar
layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka
jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan
akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini
yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka
bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule,
Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang
Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali
lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana,
mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di
telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas
yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang
tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua
anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik
itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua
kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk
mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala
penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri
yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita.
Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat
karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari
berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut
mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai
menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule
untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja
menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat
disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule
makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai
tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah
tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya
menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah
dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa
cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua
anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak
dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule
dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad
Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh
Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja
untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh.
Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja
mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja,
menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor
gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri
Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan
jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut
dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah
itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan
menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan
menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende
kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh
kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu
memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya
pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah
disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu,
yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke
leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi
tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya
baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala
macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati
tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut
dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu,
sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule
dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari
tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
ceh…tentu anda sudah sering mendengar nama Aceh tapi tahukah anda asal
mula Bangsa Aceh dari mana…?.
Aceh…adalah sebuah bangsa yang unik yang terdiri dari multikultur suku
dan bahasa serta budaya, Aceh adalah negeri yang penuh
julukan…Aceh negeri serambi mekkah, Aceh
negeri tanah rencong, Aceh negeri syariat Islam, Aceh
negeri sejuta warung kopi dan sebagainya.
Menurut salah
satu sumber dikalaangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang saya
kutip dari Cakradonya, bahwa asal usul
Bangsa Aceh berasal dari suku Mantee yang hidup di rimba raya
Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang
Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait
dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa
Monk Kmer dari hindia belakang.Seprti anda lihat persamaan yang ada
dalam jiwa-jiwa orang Aceh dengan orang Khmer yaitu semangat dan api revolusi
yang menyala-nyala.
Kembali pada
sejarah masa lalu disini kita lihat Pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh
datang dari bangsa India yang membawa ajaran Hindu dan Budha
masuk ke Aceh sekitar 2.500 tahun yang lalu, bangsa India telah membuat
perkampungan di Aceh, mereka datang melalui pesisir pantai utara Aceh. Sangat
beranekaragamnya sumber-sumber yang mengingat pelabuhan-pelabuhan dagang itu,
dimana diperoleh informasi dari Cina, Arab, India,
bahkan Eropa, adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu
memang dari dahulu kala sudah merupakan persimpangan internasional yang sangat
strategis di apit oleh samudera hindia dan selat malaka.
Dalam
perjalanan sejarah seperti kita ketahui sekitar tahun 500 Masehi di Aceh telah
berdiri satu kerajaan yang di kenal internasional yang bernama kerajaan
Poli, kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli,
dimana wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar. Dalam tahun
518 M kerajaan poli ini sudah mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok
(sekarang negeri Cina) pada masa dinasti Liang.
Dan pada akhir
abad 13 tercatat bahwa kerajaan Samudera pasai yang didirikan
oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar Sultan
Malikus-Saleh. Keberadaan sultan ini di buktikan setelah dia mangkat.
Batu nisan di atas makamnya di Blang Me, Geudong,
Aceh Utara, yang masih ada di sana sampai saat ini, menyebut
bahwa dia mangkat pada tahun 697 Hijriah, bertepatan 1297 Masehi.Kerajaan
Samudera berkembang di masa Sultan Malikus-Saleh memerintah. Sumber cerita dari
rombongan asal Italia berlayar melewati pantai Sumatera
setelah mengunjungi Tiongkok (Cina). Dalam rombongan itu
terdapat pemuda bernama Marco Polo. Setiba di Italia dia
menceritakan pengalamannya singgah di negeri Ferlece (Perlak).
Disitu dia melihat para pendatang Muslim, yang disebutnya Saraceen
(orang Arab).
Sulthan
Ali Mughayat Syah Seorang raja Aceh yang lebih
lihai dan beruntung dari raja-raja sebelumnya, berhasil memproklamirkan
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM pada hari Kamis, 21 Dzulqaidah 916 H atau 20
Februari 1511 ( menurut salah satu sumber sang sulthan sudah berkuasa mulai
tahun 1496 ) dan Aceh menjadi salah satu dari SUKU ADI DAYA
dikawasannya yang merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam
terbesar di dunia pada masa itu dan Aceh mencapai puncak kejayaan yang
gilang gemilang di jaman keemasan Sulthan
Iskandar Muda. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalm terukir selama 407 tahun
dibumi Ilahi yang berakhir dimasa sulthan Muhammad Daud Syah
pada tahun 1903.
Aceh kinii
hanyalah sebuah provinsi yang menjadi salah satu selir dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Inggris
Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth
I,
mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim
surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam."
serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima
maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk
berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim
hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat
yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun
dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I.
Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah
kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions
below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra
and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the
sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa
Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah
yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga
matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada
masa Raja James
I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai
hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal
dengan nama Meriam Raja James.
Belanda
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan
maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik
mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit
dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda
dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda
belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini
di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang
Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Mulia Ratu
Beatrix.
Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya
untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah
sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya
sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk
kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang
Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun
sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan
beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam
tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak.
Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada
Sultan Aceh
Perancis
Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan
Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah
cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin
tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut
sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa
Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya.
Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang
dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini
Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan
Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga
memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya
(sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar
Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu
tetamu-tetamunya.
Kutipan
- Mate aneuk meupat jierat, Mate hukom ho tamita yang artinya: mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana hendak dicari," katanya saat menjatuhkan hukuman rajam kepada anandanya Meurah Pupok yang berzinah dengan isteri seorang perwira.
Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan
Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada
suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik
di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain
layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang
mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar
layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka
jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan
akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini
yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka
bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule,
Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang
Bejeye.
Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali
lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana,
mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di
telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas
yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang
tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua
anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik
itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua
kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk
mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala
penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri
yang bernama Surele.
Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita.
Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat
karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari
berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut
mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai
menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule
untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja
menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat
disayangi oleh Raja Cik Serule.
Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule
makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai
tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah
tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya
menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.
Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah
dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa
cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua
anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak
dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule
dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad
Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh
Tengah.
Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja
untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh.
Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja
mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja,
menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor
gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri
Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan
jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.
Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut
dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah
itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan
menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan
menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende
kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh
kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu
memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.
Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya
pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah
disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu,
yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke
leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi
tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya
baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala
macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati
tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut
dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu,
sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.
Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule
dan Segenda itu akhirnya menjadi vikal bakal tari ugel yang menjadi tari
tradisional khas rakyat Gayo.
Sumber:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
ceh…tentu anda sudah sering mendengar nama Aceh tapi tahukah anda asal
mula Bangsa Aceh dari mana…?.
Aceh…adalah sebuah bangsa yang unik yang terdiri dari multikultur suku
dan bahasa serta budaya, Aceh adalah negeri yang penuh
julukan…Aceh negeri serambi mekkah, Aceh
negeri tanah rencong, Aceh negeri syariat Islam, Aceh
negeri sejuta warung kopi dan sebagainya.
Menurut salah
satu sumber dikalaangan peneliti sejarah dan antropologi seperti yang saya
kutip dari Cakradonya, bahwa asal usul
Bangsa Aceh berasal dari suku Mantee yang hidup di rimba raya
Aceh yang memiliki ciri-ciri postur tubuh agak kecil dibandingkan dengan orang
Aceh sekarang. menurut prakiraan suku mantee ini mempunyai hubungan terkait
dengan suku bangsa Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa
Monk Kmer dari hindia belakang.Seprti anda lihat persamaan yang ada
dalam jiwa-jiwa orang Aceh dengan orang Khmer yaitu semangat dan api revolusi
yang menyala-nyala.
Kembali pada
sejarah masa lalu disini kita lihat Pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh
datang dari bangsa India yang membawa ajaran Hindu dan Budha
masuk ke Aceh sekitar 2.500 tahun yang lalu, bangsa India telah membuat
perkampungan di Aceh, mereka datang melalui pesisir pantai utara Aceh. Sangat
beranekaragamnya sumber-sumber yang mengingat pelabuhan-pelabuhan dagang itu,
dimana diperoleh informasi dari Cina, Arab, India,
bahkan Eropa, adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu
memang dari dahulu kala sudah merupakan persimpangan internasional yang sangat
strategis di apit oleh samudera hindia dan selat malaka.
Dalam
perjalanan sejarah seperti kita ketahui sekitar tahun 500 Masehi di Aceh telah
berdiri satu kerajaan yang di kenal internasional yang bernama kerajaan
Poli, kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli,
dimana wilayah kekuasaannya meliputi Aceh Besar. Dalam tahun
518 M kerajaan poli ini sudah mengirimkan utusannya ke negeri Tiongkok
(sekarang negeri Cina) pada masa dinasti Liang.
Dan pada akhir
abad 13 tercatat bahwa kerajaan Samudera pasai yang didirikan
oleh Meurah Silo yang kemudian bergelar Sultan
Malikus-Saleh. Keberadaan sultan ini di buktikan setelah dia mangkat.
Batu nisan di atas makamnya di Blang Me, Geudong,
Aceh Utara, yang masih ada di sana sampai saat ini, menyebut
bahwa dia mangkat pada tahun 697 Hijriah, bertepatan 1297 Masehi.Kerajaan
Samudera berkembang di masa Sultan Malikus-Saleh memerintah. Sumber cerita dari
rombongan asal Italia berlayar melewati pantai Sumatera
setelah mengunjungi Tiongkok (Cina). Dalam rombongan itu
terdapat pemuda bernama Marco Polo. Setiba di Italia dia
menceritakan pengalamannya singgah di negeri Ferlece (Perlak).
Disitu dia melihat para pendatang Muslim, yang disebutnya Saraceen
(orang Arab).
Sulthan
Ali Mughayat Syah Seorang raja Aceh yang lebih
lihai dan beruntung dari raja-raja sebelumnya, berhasil memproklamirkan
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM pada hari Kamis, 21 Dzulqaidah 916 H atau 20
Februari 1511 ( menurut salah satu sumber sang sulthan sudah berkuasa mulai
tahun 1496 ) dan Aceh menjadi salah satu dari SUKU ADI DAYA
dikawasannya yang merupakan salah satu dari lima kerajaan Islam
terbesar di dunia pada masa itu dan Aceh mencapai puncak kejayaan yang
gilang gemilang di jaman keemasan Sulthan
Iskandar Muda. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalm terukir selama 407 tahun
dibumi Ilahi yang berakhir dimasa sulthan Muhammad Daud Syah
pada tahun 1903.
Aceh kinii
hanyalah sebuah provinsi yang menjadi salah satu selir dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.